LATAR BELAKANG DINAS DUKCAPIL
Pada awal abad XIX, kota Batavia (Jakarta) mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat terutama di bidang Pemerintahan. Batavia merupakan Kota yang menjadi pusat Pemerintahan dan perdagangan pada saat kolonial Belanda. Dengan dibangunnya infrastruktur seperti pusat Ibadah, Gd. Kesenian, Kantor Pos, Gd. Mahkamah Agung, lapangan Banteng, hingga lapangan Monas sehingga mengindikasikan Batavia akan menjadi Ibukota. Seiring dengan pembangunannya maka kebutuhan penyelenggaraan tertib administrasi kependudukan dan pencatatan sipil (Burgerlijk Stand) sudah mulai terorganisir dibuktikan dengan dokumen akta pencatatan sipil bertahun 1829. Penyelenggaraannya mengacu pada peraturan perundang-undangan Belanda (asas konkordansi) hanya berlaku bagi warga Belanda, Eropa dan Amerika.
Ordonansi pencatatan sipil yang pertama dibuat untuk daerah Hindia Belanda, diberlakukan pada tahun 1850, dengan ditetapkannya ordonantie Catatan Sipil bagi Golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu Reglement tentang hal daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Eropa dan juga Indonesia Asli (Bumi Putera) dan mereka yang dipersamakan dengan bangsa itu (Eropa) yaitu mereka yang menundukkan diri menurut ketentuan perundang-undangan kepada seluruhnya dengan sukarela kepada hukum sipil (perdata) dan hukum dagang yang diterapkan bagi Bangsa Eropa (Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25).
Terbatasnya pelayanan Catatan Sipil tersebut adalah sejalan dengan politik Pemerintah Hindia Belanda yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda. Didasari ketentuan Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling) ada 3 golongan penduduk yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi.
ada masa pendudukan Jepang tersebut tidak banyak terdapat keterangan tentang penyelenggaraan pencatatan sipil, kecuali dalam daftar register akta catatan sipil pada masa itu (1942-1945) diketahui bahwa nama Bergerlijke Stand (BS) diganti menjadi “Cacah Jiwa” dan lembaganya disebut “Kantor Pencacah Jiwa”. Penggunaan Istilah “jiwa” diambil dari bunyi Kitab Undang Undang Hukum Sipil, yaitu bahwa kata Catatan Sipil diartikan sebagai “pendaftaran jiwa”. Adapun nomor dan penanggalan akta Kantor Pencacah Jiwa tersebut menggunakan tahun penanggalan Jepang.
Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, penyelenggaraan Pencatatan Sipil diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga Burgerlijke Stand (BS)/Kantor Pencacah Jiwa dilanjutkan kegiatannya dengan meneruskan apa-apa yang dahulu dikerjakan oleh lembaga ini, termasuk namanya masih menggunakan Bergerlijke stand (BS).
Belum dapat diketahui secara pasti kapan BS itu secara resmi diganti menjadi Kantor Catatan Sipil, informasi yang diperoleh penulis dari Ibu Khatidjah Wasito (kepala Seksi Penyuluhan dan Evaluasi Kantor Catatan Sipil Pemerintah DKI Jakarta 1984-1989), menyebutkan BS diterjemahkan menjadi Catatan Sipil pada Kongres Bahasa ke 2 di Medan pada Tahun 1950. Istilah itu diambil atas dasar adanya istilah Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil dalam KUH Perdata.
tanggal 17 Agustus 1945 sehari setelahnya lahir Undang-undang Dasar 1945, secara resmi berdiri pemerintahan peralihan Ibukota Republik Indonesia Jakarta, dengan Soewirjo sebagai Walikota pertamanya. Pada masa itu di Jakarta terdapat 2 Kantor Catatan Sipil, yaitu Kantor Catatan Sipil Batavia berlokasi di Jl. Perwira (sekarang Mesjid Istiqlal) dan satunya lagi Kantor Catatan Sipil Mister Cornelis (Jatinegara sekarang berlokasi didepan Stasiun Kereta Api Jatinegara).
Pada masa pemerintahan Walikota Soediro pada menjelang tahun 1957, kota Jakarta berubah status menjadi Daerah istimewa (Chusus) Tingkat I dan dipimpin oleh seorang Gubernur. Pada periode ini pulalah lembaga bergerlijke stand diganti namanya menjadi Kantor Catatan Sipil, sebagai salah satu hasil dari Kongres bahasa ke 2 di Medan. Adapun Tentang Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil atau penandatangan akta catatan Sipil di Jakarta, sejak tahun 1829 sampai dengan 1942 dan 1945 sampai akhir revolusi pisik tahun 1949 penyerahan kedaulatan oleh sekutu (Belanda) kepada pemerintah Indonesia, BS masih dijabat oleh orang Belanda. Diantaranya adalah : de hoost Simon Petrus Marinas, Johannes Leonard Domingos dan seorang Indonesia bernama : Ahmad Badaruddin.
Berkenaan dengan perluasan Daerah Khusus Ibukota jakarta inilah, kemudian Kantor Catatan Sipil di Jakarta menjadi satu, yaitu Kantor Catatan Sipil DCI Jakarta Raya yang berlokasi di Jl. Pintu Besar Utara no. 12 Kota (dibelakang Gedung Museum Wayang sekarang). Sedangkan Kantor Catatan Sipil Mister Cornelis, dihapuskan dan sebagian dari Akta-akta Catatan Sipil yang ada diserahkan ke Kantor Catatan Sipil DCI Djakarta dan sebagian lainnya diserahkan keKantor Catatan Sipil Kabupaten Bekasi. Kepala Kantor Catatan Sipil DCI Jakarta pertama yang dijabat oleh Orang Indonesia setelah Kemerdekaan adalah Bapak H. Pratiknyo.
Terjadinya perubahan politik yang mendasar di Indonesia, sebagai akibat dari peristiwa pembrontakan G 30 S PKI pada tahun 1965 yang berhasil ditumbangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka Negara Indonesia memulai Pemerintahan Orde Baru dengan kepemimpinan Bapak Soeharto sebagai Presiden RI. Pemerintahan Orde Baru tersebut membuka era baru pula dalam penyelenggaraan Catatan Sipil di Indonesia,yaitu melalui Instruksi Presidium Kabinet Ampera No.31/In/U/12/66 penyelenggaraan Catatan Sipil dinyatakan terbuka untuk seluruh penduduk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing.
Instruksi tersebut memberi landasan hukum sebagai jawaban kebutuhan pelayanan catatan sipil oleh masyarakat dan membawa pengaruh yang besar bagi arah kebijakan dan perkembangan pembangunan di bidang Catatan Sipil selanjutnya di Indonesia.**